PONDOK PESANTREN BINA UMAT YOGYAKARTA

Kisah Alumni

“Saya orang baru dan tentang Jogja saja saya tidak tahu apa-apa, apalagi tentang desa terpencil ini”

Oleh : Olyfia Tahta Alfina

Februari 2014

Subhanallah..Takjub. Itu yang pertama kali saya rasakan ketika kembali menginjakkan kaki di pondok ini setelah ±3,5 tahun saya meninggalkannya. Perubahan yang sangat drastis; Tidak ada lagi yang namanya gedung sekolah yang bersifat “sewaan”, Tidak ada lagi pemandangan para santriwati berjalan kaki pagi-pagi sekali untuk menempuh jarak yang lumayan jauh ke sekolah. Ataupun pemandangan di Jum’at pagi, di mana antara Ikhwan-Akhwat harus berbagi lapangan desa untuk berolahraga. Kita tidak akan pernah menjumpai itu sekarang. Yang saya lihat saat itu adalah gedung asrama putri yang luasnya menjadi dua kali lipat. Dan kalian tahu? Tepat di sampingnya telah berdiri kokoh bangunan sekolah putri. Lengkap dengan lapangan olahraga menghiasi kedua gedung itu.

Pertengahan Juni 2004

Tahun di mana aku menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Bina Umat ini.

Selama dalam perjalanan, aku membayangkan Bina Umat laiknya pondok pesantren pada umumnya, di mana memiliki gedung tinggi, asrama bertingkat dan sarana pra sarana yang memadai. Mulai dari kantin pondok, perpustakaan, laboratorium dan lapangan olahraga. Tentu saja, Aku langsung mengangguk mengiyakan ketika orang tua menawariku untuk melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Tanpa pernah tahu, bahwa realita tidak seperti yang dibayangkan.

Lagi-lagi hanya bisa terucap Segala Puji Bagi Allah, Alhamdulillah..

Dulu, ketika saya mulai masuk SMP -sebagai angkatan kedua- dengan berbekal ruangan kelas seadanya-saat itu masih menyewa bangunan SD- saya dan teman-teman menghabiskan waktu belajar kami di sana. Pagi belajar, sore kami lanjutkan dengan mengikuti ekstra kurikuler. Begitu banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan. Saya mulai belajar hidup mandiri. Pikiran saya kembali menerawang memutar slide-slide silam. Jujur, saya orangnya cengeng, terutama ketika orang tua pulang ke Banjarmasin setelah mengantar saya ke sini. Saya langsung menangis tidak karuan, makan pun tidak selera. Ingin rasanya kabur dari pondok, walaupun hal itu sangat tidak mungkin. Saya orang baru dan tentang Jogja saja saya tidak tahu apa-apa, apalagi tentang desa terpencil ini.

Seiring berjalannya waktu, saya pun menyibukkan diri dengan belajar giat dan mengikuti organisasi siswa atau OSIS dengan harapan dapat sejenak mengobati rindu. Dari organisasi ini, karakter kita benar-benar dibentuk. Jiwa-jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab kita benar-benar diasah. Hal itu tak luput dari bimbingan asaatidz dan ustadzaat yang tiada kenal lelah mensupport para santrinya.Berganti jenjang ke SMA, berganti pula gedung asrama putri. Saat itu saya telah memasuki kelas 11. Kamar yang ditempati pun lebih mewah-untuk ukuran pondok pesantren. Satu kamar untuk 6 orang dengan tiga buah ranjang bertingkat plus kamar mandi. Ini benar-benar ukuran mewah sekali jika dibandingkan dengan pondok pesantren lain.

Ketika musim ujian semester tiba, waktu yang dihabiskan untuk ujian pun tidak tanggung-tanggung. 3 minggu! Kita benar-benar digojlok. 1 minggu untuk ujian mata pelajaran umum, 1 minggu lagi ujian mata pelajaran diniyah dan 1 minggu untuk ujian praktek. Kalau dipikir-pikir, rasanya tidak sanggup, bagaimana mungkin kita harus berkutat dengan buku-buku pelajaran selama 3 minggu. Pernah terlintas di pikiran saya, ngapain ujian kok lama banget, bikin bosen. Ternyata, sekarang baru saya rasakan manfaatnya. Saya bisa berbagi ilmu di sini. Meski kulian yang saya ambil adalah jurusan syari’ah dengan bahasa pengantar adalah Bahasa Arab, saya sering diminta untuk mengajar Mata pelajaran umum, seperti Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dll. ‘Alaa kulli Haal Alhamdulillah…

“Apapun yang ma’had ajarkan, jika itu adalah sebuah kebaikan maka, terimalah… kita memang tidak merasakan buah dari perjuangan itu sekarang, akan tetapi ingatlah,, langit tidak selamanya mendung, selalu akan ada pelangi yang menghiasinya. Kita hanya perlu sedikit bersabar. Mengapa perjuangan itu pahit? Karena sesungguhnya kesuksesan itu berasa manis. Jadilah orang yang selalu menebarkan energi positif ke lingkungan sekitar.. Maka, tunggulah alam akan tersenyum melihatmu..”

  • Nama : Olyvia Tahta Alvina
  • TTL : Banjarmasin, 20 Oktober 1992
  • Angkatan : 2
  • Study Lanjut : LIPIA Jakarta jurusan Syariah & Universitas Muhammadiyah Jakarta jurusan Zakat dan Wakaf

Scroll to Top